Hari AIDS sedunia emang diperingatin kemarin, tapi baru bisa saya obrolin hari ini... huhhuuu...
Tapi ga apa-apa lah, belum terlalu basi ini. Lagian kalo ngikut kata-kata bijak jadul yang keknya sekarang udah ketinggalan jaman banget, lebih baik terlambat daripada ga sama sekali... ya toh... hehee...
Jadi, semua juga udah pada tau kalau tanggal 1 Desember selalu diperingati sebagai hari AIDS sedunia. Saya perhatikan setiap tahun banyak orang yang mengaku peduli terhadap isu yang satu ini mencoba menunjukkan kepedulian mereka, entah dengan berjalan kaki keliling kota sambil membagikan bunga (seperti yang dialami oleh Aron, hehee...), atau cukup dengan kompakan bareng teman-teman menyematkan red ribbon sebagai perlambang perang terhadap AIDS di dada mereka.
Tapi yang jadi pertanyaan saya, apakah mereka benar-benar paham tentang isu HIV/AIDS yang sebenarnya?
Saya teringat salah satu teman saya yang tahun kemaren begitu bersemangatnya ingin ikut menunjukkan kepeduliannya terhadap wabah AIDS dengan meminta teman-temannya memakai pita merah perlambang perang terhadap AIDS di baju mereka, termasuk saya.
"Ayo, buruan dipake. Sudah saatnya kita menunjukkan kepedulian kita buat mereka," begitu katanya waktu itu.
"Emang perlu ya?" tanya saya.
Saya tau, seharusnya saya ga bertanya seperti itu, karena teman saya ini langsung ngomel-ngomelin saya di hadapan teman-teman yang lain, bikin saya malu setengah hidup.
"Kamu ini gimana sih? Kita itu kan seharusnya... bla bla bla..." Yah, dia ngomel-ngomel panjang lebar, dan saya cuma diam dengerin omelan dia.
Itu bukan berarti saya ga peduli. Saya justru sangat peduli... saya sedih kalau ngeliat keadaan kritis para penderita AIDS... saya miris dengan stigma dan diskriminasi yang harus diterima para pengidap HIV... dan saya sangat berharap bahwa suatu saat para orang pintar yang selalu nemuin hal baru dan canggih dalam penelitian mereka pada akhirnya juga berhasil menemukan vaksin penyembuh AIDS, atau kalau memang tidak bisa menyembuhkan, setidaknya mampu mencegah penularannya.
Tapi kepedulian saya berbeda.
Saya ga ingin menunjukkan diri kalau saya peduli. Saya ga mau kemana-mana dengan pita merah tersemat di kemeja saya cuma buat ngingetin orang-orang kalau hari itu adalah hari peringatan AIDS sedunia. Kalaupun pada akhirnya mereka tau, apa itu bakalan menjamin kalau mereka juga bakalan ikut peduli...? Malah mungkin sebagian dari mereka bakalan bilang, "Ngapain sih mesti pake pita merah segala? Sok peduli ah!" Konyol banget kan jadinya...
Saya bukannya bersikap pesimis, cuma menggambarkan apa yang pasti terjadi dalam realita. Sebagian besar orang akan berkata, "Saya udah punya cukup banyak permasalahan tanpa harus ditambah-tambahin dengang masalah AIDS orang lain." See...?
Oke, balik ke teman saya tadi, yang masih aja terus menggurui saya dengan ceramahnya yang membosankan, membuat saya mulai ga sabar.
"Okey," kata saya. "Aku bakalan pake tuh pita, asal kamu kasih tau alasan yang jelas kenapa AIDS harus dilambangkan dengan pita merah. Kenapa bukan pita hitam atau putih? Trus kenapa harus pake pita? Kenapa ga pake tali aja gitu, atau yang lain?"
Saya ga bermaksud untuk menguji dia saat itu, cuma sekedar meyakinkan diri saya sendiri kalau dia memang paham, bukan sekedar tau. Tapi saya sudah bisa menebak jawaban apa yang bakalan keluar dari mulut ceriwisnya itu...
"Isna sayang," (gaya omongan dia waktu itu seakan-akan saya anak TK yang nanya Tuhan itu bener ada atau ga...) "mau pita merah atau yang lain, itu ga jadi masalah. Yang penting kan kepedulian kita," begitu jawabnya.
Yah, dia memang bener, tapi saya belum puas.
"Trus memangnya kepanjangan AIDS itu apaan sih?" coba saya lagi.
"Ya ampun, Isna," teman saya berlagak kaget. "Masa kamu ga tau sih? AIDS itu kan Accut Immune Decreasing Syndrome."
What?!! Apa... apa tadi?! Saya ga salah denger nih? Buset dah teman saya ini, asbun banget! Ngakunya peduli, tapi nyatanya...
Saya bisa aja ngetawain dia waktu itu, sekedar membalas dendam untuk perlakuan dia yang udah membunuh karakter saya di depan teman-teman yang lain. Tapi saya justru lebih prihatin. Saya hargai semangat dia untuk peduli, tapi semangat yang gigih tanpa diimbangi dengan pemahaman yang kuat sama aja artinya dengan menjerumuskan diri dalam sindrom underestimation (buset yah bahasa saya...).
Bukankah untuk memperjuangkan sesuatu paling ga kita mengerti apa yang akan kita perjuangkan?
Saya khawatir teman saya ini justru diremehkan dalam usahanya menunjukkan kepedulian.
Berusaha menjaga perasaannya, saya ambil pita merah yang udah dia siapin, saya pasang di kerah kemeja saya, dan ketika dia ga liat, saya tutupi dengan rambut saya. Sebagai tambahan, saya pinjami dia sebuah novel berlatar belakang isu seputar HIV/AIDS dengan harapan dia bakalan lebih memahami apa yang sedang dia perjuangkan itu.
Itu cerita setahun yang lalu. Saya agak jarang berkomunikasi dengan teman saya ini setahun belakangan karena dia udah mulai sibuk sama kerjaan barunya. Tapi ternyata kemaren dia nelpon saya, pengen ngajak keluar.
"Ke mall yuk," ajaknya kemaren. "Aku mau cari buku baru nih."
Entah kenapa, saya tergoda untuk ngingetin dia event di tanggal 1 Desember. "Loh, kamu ga ngumpul sama organisasi gereja kamu? Memperingati hari AIDS sedunia? Hari ini tanggal 1 Desember kan?" kata saya.
Teman saya agak sedikit salah tingkah sebelum dia menjawab, "Ayo, bisa ga keluar hari ini? Kalo ga aku cari teman lain deh."
Saya ga mau memperpanjang ledekan karena saya bukan tipe orang yang suka melakukan pembunuhan karakter terhadap orang lain. Jadi saya cuma menyimpan semua dugaan saya dalam hati.
Mungkin teman saya ini sudah benar-benar paham, pada akhirnya. Mungkin dia malu karena teringat kesalahan akut yang dia lakukan tahun kemaren. Atau mungkin, sikap peduli terhadap ODHA yang ditunjukkan dalam novel tersebut ternyata ga selaras dengan prinsipnya, sehingga dia memutuskan untuk ga lagi ambil bagian dalam kampanye peduli AIDS.
Yah, saya cuma bisa bilang, masing-masing orang punya caranya sendiri-sendiri untuk menunjukkan kepedulian, begitu juga saya. Saya ga perlu bunga ataupun pita merah. Yang saya perlukan cuma pemahaman mendalam tentang isu seputar HIV/AIDS. Itu sebabnya saya selalu mencari informasi sebanyak dan seakurat mungkin tentang isu ini agar ga terjadi kesalahpahaman di kemudian hari. Kepedulian itu saya tingkatkan lagi dengan berbagi pemahaman saya, dan berdiskusi dengan orang-orang terdekat saya, mereka yang peduli, atau yang mengaku peduli, untuk terus mengkampanyekan perang terhadap AIDS. Saya percaya itu lebih bermanfaat untuk mengurangi (karena saya tidak yakin apakah bisa dihilangkan) stigma dan diskriminasi di masyarakat.
Sungguh, itu jauh lebih bermakna...
2 ocehan mereka:
oK....ngerti-ngerti aku mbak isna
sepakat!!! kita memang harus lebih banyak belajar lebih mendalam ttg AIDS untuk kemudian kita cegah penularannya melalui pengajaran kepada org terdekat. bukankah kalau semua org peduli dengan org terdekatnya tidak akan adalagi kejadian seperti AIDS ini.
mmmhh, ikut aksi damai juga bagus kok, setidaknya itu membuktikan bahwa kita ramai-ramai memerangi AIDS ini...he,he,he
*glekk!!! nih coment apa posting yak??? panjang beneur dah*
Hmm...
Saya sampai skrg belum pernah merasa peduli sama ODHA, karena memang belum pernah melakukan sesuatu terhadap ODHA...
Post a Comment
Makasih banget deh udah nyempat-nyempatin baca... lebih makasih lagi kalau ditambah komennya...